PERGORBANAN GELAR DAN PENGUATAN IDENTITAS BANGSA
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara) lahir di Yogyakarta pada Hari Kamis, 2 Mei 1889 dan wafat di Yogyakarta, pada tanggal 28 April 1959 almarhum dimakamkan di Taman Wijaya Brata. Sosok bangsawan yang berhati kebangsaan, beliau mengganti namanya dengan nama yang tidak berbau bangsawan agar dapat lebih mudah dekat dengan masyarakat kalangan bawah. Perjuangannya untuk memperjuangkan pendidikan bangsa Indonesia di mulai dengan mendirikan Perguruan Tinggi TAMAN SISWA, 3 JULI 1922 yaitu perguruan tinggi yang di jadikan wadah untuk menanamkan dan menumbuhkan sifat dan rasa kebangsaan kepada siswanya.
Salah satu fatwa ajaran Ki Hadjar Dewantara adalah : “Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani” yang berarti “Di depan memberi teladan, Di tengan memberi bimbingan, Di belakang memberi dorongan”
Pada tanggal 2 Mei 2019 bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Peristiwa ini, seperti banyak peringatan hari - hari nasional lainya, sudah menjadi semacam ritual tahunan lengkap dengan atributnya. Biasanya selain upacara-upacara di kantor - kantor dan di lembaga - lembaga pemerintah biasanya juga selalu di kumandangkan tema yang berkenaan dengan hari nasional tersebut. Tema tahun ini adalah “PENGORBANAN GELAR dan PENGUATAN IDENTITAS BANGSA”.
Mengangkat kisah hidup pahlawan nasional Ki Hadjar Dewantara yang hari lahirnya di jadikan sebagai HARDIKNAS (Hari Pendidikan Nasional) sebagai bentuk penghargaan terhadap pengorbanan dan perjuangannya sebagai bapak pendidikan Indonesia, beserta pemikiran dan usahanya menjalankan pendidikan melalui Taman Siswa. Keputusan dan pengorbanan Ki Hadjar Dewantara menanggalkan gelar kebangsawannya merupakan keputusan penting dan pengorbanan yang berarti sebagai jalan untuk lebih dekat dengan bangsa ini sekaligus menguatkan identitas bangsa melalui pendidikan.
Ini sangatlah berbeda dengan apa yang dilakukan oleh akademis kita saat ini yang condong dan membanggakan sederet gelar di depan dan di belakang nama mereka, agar terlihat wah mungkin, di anggap paling pintar bisa jadi, agar di lihat berilmu tinggi mungkin, Sebenarnya terlepas apa dan setinggi apapun gelar kita yang paling penting adalah bentuk kontribusi diri dan pengaplikasian kepandaian kita di dunia ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kemanusiaan.
Jadi manfaat dan pukulan apa yang dapat saya, kalian, mereka (kita) ambil dari hal di atas adalah jangan sekedar mengisi hari - hari pendidikan kita dengan satu tujuan saja yaitu bergelar “INTELEK” tetapi mari kita memperingati dan menghayati hari pendidikan nasional sebagai sebuah nasehat penting untuk kita lebih bisa dan mampu menjadi sosok yang responsif terhadap bagaimana keadaan bangsaku saat ini. Apa yang terjadi di negaraku, mati atau hidup kah kampusku, baik atau buruk sistem pendidikan yang di buat oleh birokrasi kampus itu seharusnya yang di implementasi oleh kita saat ini.
Jangan hanya mengisi HARDIKNAS dengan dalih hanya ceremony belaka, tetapi benar - benar menengok bagaimana penguatan identitas bangsa di mulai dari penguatan moral generasi dan dicetak melalui pendidikan tanpa sebuah pembatasan hak berpendapat akan menyuarakan suara kebenaran!.
Pendidikan seharusnya menjadikan diri kita berani dan berkembang, bukan takut dan tenggelam. Banyak sekali manusia - manusia yang dengan mudahnya mengkonsumsi pendidikan di waktu merdeka ini tetapi mengapa sedikit sekali manusia - manusia yang mampu menikmati dan memaknai setiap proses pendidikan?
Jawabannya adalah masih banyak masyarakat kampus (mahasiswa) yang notaben adalah pelaku sekaligus korban dari pendidikan masih sangat terikat bahkan terjerat oleh sistem, metode, dan pelaksanaan proses belajar dan berlatih yang masih kurang memberikan ruang berpikir secara kritis bebas, dan mendalam. Dan sedikit sekali yang mau dan ingin mampu memaknai, Apakah itu mahasiswa? Bagaimana cara berpikirnya? Apa saja budayanya? Dan Apa yang seharusnya di lakukan jika sebuah hal membuatnya menjadi pengecut?.
Banyak sekali dari kita berlomba-lomba memperbesar Nilai yang sering kita sebut sebagai IPK isinya hanya angka, dan melupakan apa itu IPK yang sebenarnya, Mahasiswa itu tataran tertinggi dalam jenjang pendidikan formal yang sudah memiliki beberapa tugas yaitu agen of change, power of control sosial dan agen of solusion, jangan jadikan itu semua hanya sebatas sebutan saja, mari kita memperingati dan memaknai HARDIKNAS, hasil jerih payah tokoh - tokoh nasional yang telah memperjuangkan nasib pendidikan bangsa ini, sehingga kita semua dengan sangat mudahnya merasakan dan mendapatkan pendidikan seperti saat ini.
Ini harus di perjuangkan untuk menunjang keberhasilan untuk mampu membentuk IPK ( Ilmu Pengetahuan Keterampilan) “mari perbanyak ruang-ruang belajar dan mari ajak orang di sekililingmu untuk belajar berdiskusi"
Riyan Tulus Widodo
Komentar
Posting Komentar