Antara Cinta, Perlawanan, dan Jailani di Pesaja


DARMAKRITIKA – Disudut malam kini, hanya memikirkan ego dan rasa benci melihat semua orang yang bangga akan prestasi akademik tanpa memikirkan adanya solusi untuk semua kejadian yang terjadi, tomes (dan buyung) suka marah kalo cuman disebut tomes doang, soalnya baperan dia haha…

Ia lupa akan sebuah potensi yang telah diberi, sehingga ia lupa apa yang telah terjadi terhadap semua orang di ujung negeri, sehingga tanpa tomes sadari, banyak sekali yang telah terlewati selain pada diri ini, kisah perlawanan akan sebuah tindakan yang jauh dari kata gandrung akan keadilan dan melawan sebuah sistem mekanisme oligarki. maka, izinkanlah Tomes beropini.

Telah lama manusia-manusia yang tinggal dikampung pesaja terkurung dalam kesedihan yang larut. Kampung yang dulunya pun sama pernah dijajah oleh belanda, rumah-rumah yang berdiri gagah sampai sekarang. dulu dibangun dengan keringat, dan air mata beserta luka para pendahulunya. Oleh karna itu, jauh beberapa puluh tahun belakangan, penduduk bisa merasakan kemerdekaan atas semua ekses perjuangan dan pengorbanan. Bahkan selemah-lemahnya iman mereka sampai kapanpun takkan pernah mengkhianati hasil jerih payah dari pendahulunya sendiri. Kampung dengan nama Pesaja itu dikaruniai kekayaan alam yang melimpah ruah, sehingga para penerus dapat melanjutkan hidup dengan hasil ladangnya sendiri.

Namun, suasana tersebut belakangan tidak terjadi lagi. Dikarnakan hadirnya kuman-kuman besar ditengah kehidupan mereka. Satu persatu penduduk meninggalkan tanah kelahiran mereka. Pergi kekota metropolitan untuk mengadu nasib, agar dapur rumah tetap berasap, ada yang pergi meninggalkan kampung untuk melanjutkan pendidikan tinggi, ada yang terpaksa meninggalkan kampung kelahirannya karena sudah tidak ada lagi tanah apalagi rumah akibat kuman yang telah mengotori, semuanya sudah dijual secara paksa dengan harga paling murah oleh kuman raksasa yang segalanya mungkin bisa ia lakukan. tanpa memikirkan virus lainnya, kuman sama sekali tidak bertanggung jawab dan tidak mempunyai jiwa sosial bagi sesama virus, mereka sengaja membangunkan pabrik, tanpa memikirkan CSR yang seharusnya ada dan mereka urusi.

Kebun yang terbentang luas, pabrik yang berdiri gagah, limbah yang tercium busuk juga membahayakan kesehatan, menjadi lambang kehancuran bagi semua makhluk bernafas dikampung pesaja. Seperti belakangan ini, banyak muncul kejadian-kejadian besar berkaitan dengan air kehidupan warga pesaja (batang hari). Masih hangatnya sekitar seminggu yang lalu ditemukan banyak ikan-ikan, seperti nila, lele dan patin yang seharusnya rawan dari kata mati tanpa akibat dan sebab, tapi ikan-ikan besar terdampar disisi sungai. Sungguh iseng benar kalau memang ada warga yang rela memberikan racun pada satu-satunya air sungai guna melanjutkan hidup dikampung pesaja.

Maka aku pun berpikir tak mungkinlah, ada kucing yang menggondol ikan-ikan itu dari keluarganya didalam sungai misalnya, berenang sampai ratusan meter ke kedalaman sungai, lalu menghambur hamburkan ikan itu ditepi bibir sungai. Hanya kucing ajaib bin jahat yang bisa melakukannya.

oleh karna itu yang paling masuk akal dari pemikiran tersebut tentu saja ini hasil kawin silang melalui perintah kuman besar, antara tanaman dengan pabrik yang darinya melahirkan cairan berbahaya sehingga bisa menkontaminasi saluran air yang menyebabkan kerusakan pada kehidupan dilingkungan sungai. Dan baru beberapa hari belakangan, sawah milik seorang warga yang dekat dengan aliran sungai tersebut tiada lagi bisa dipanen dikarnakan kondisi airnya yang buruk. Lalu pemerintah seenaknya mengatakan, bahwa lahan pertanian dikampung pesaja dinilai sudah kritis dan tak produktif lagi. Apakah ini ada sangkut pautnya dengan si kuman besar itu? Hmm, mungkin kawan kawan bisa menilai haha.

Dari serentetan kisah kejamnya para kuman hingga kawin silang hewan peliharaannya yaitu pabrik dan bahan bakunya sehingga mengeluarkan cairan yang sangat tidak berfaedah bagi sekitarnya, macam cairan zina saja. terselip nama seorang pemuda yang dibesarkan oleh bapak petani sebut saja ia Jailani, kadang dipanggil jai kadang dipanggil lan. Lahir atas perjuangan seorang ibu yang merelakan darahnya mengalir deras dari tempat kesuciannya, agar aku bisa merasakan kehidupan dibawah langit luas dengan penuh warna-warna terang dan gelap yang berartikan suka dan duka. Dibawah bulan purnama dengan udara yang dingin diatas kasur tiada alas, diwilayah barat negeri ini yang jauh dari kata ramai dekat dengan kata pelosok, saya telah dibesarkan dengan penuh rasa cinta dan kebahagiaan oleh keluarga saya. dibesarkan ketika keadaan tempat saya tinggal sebagian tanahnya telah dirampas oleh kuman yang dzolim. Dimana zaman kekanak-kanakan tiada indahnya tidak seperti anak pada umumnya yang bermain di lapangan luas semestinya dapat kami peroleh untuk bermain tapi kini tidak ada lagi tempat itu dapat kami temui, karna semua telah ditanami dengan tanaman yang subur beserta bangunan pabrik yang besar.

Disore hari seperti biasa saya pergi ke ladang hanya untuk sekedar menghilangkan rasa bosan dalam diri, menyirami pupuk pada tanaman dan membersihkan rumput-rumput yang mulai tinggi, selesai itu aku istirahat beralaskan sendal agar celana tak menyentuh tanah sambil melihat matahari terbenam dengan secangkir kopi.

Saat seperti itulah, aku membayangkan umur yang semakin bertambah namun pola keseharian tiada berubah, bersandar pada ladang sepetak untuk melanjutkan hidup sungguh sulit ditengah harga jual-yang terus menerus menurun hingga mencapai nilai jual yang menurutku tidak layak untuk ditawarkan, walaupun demikian keluargaku masih bisa melanjutkan hidup dengan penuh riang gembira, bersyukur tiada hentinya dan selalu berbuat baik pada semua yang telah memberikan kehidupan, begitulah pesan bapak.

Adzan maghrib mengehentikan bayangan, aku pulang kerumah setelah memanjakan ladang agar bisa panen sampai kualitas terbaik untuk mewujudkan harapan, melanjutkan sekolah tinggi dikota metropolitan. Dikendarai hati yang gembira aku berjalan kaki dengan jarak tempuh 10 menit dibawah langit biru menunjukan waktu itu waktu sudah mendekati maghrib, terbayang olehku sebuah kota metropolitan, gedung-gedung tingi, guru-guru yang hebat, kawan yang cerdas, sungguh indah kehidupan dalam benakku. Tak kuasa menahan diri, langkahku semakin cepat tak berhenti dan menyadari bayangan yang kembali muncul di pikiran ini dengan lantang mengatakan, tunggu sebentar lagi aku akan datang.

Sesampainya tiba dirumah, seorang tamu teman ayahku telah duduk rapi diatas kursi dengan secangkir kopi, kupandang wajahnya yang menyeramkan itu sedang membicarakan nasib para petani. Ditengah manusia lainnya sedang khusyuk menyembah Tuhannya, diteras rumah mereka masih membicarakan hal-hal tentang duniawi. Aku merasa obrolan mereka sangat penting sampai sampai sepintas kudengar tamu itu mengatakan, “ Mau tidak mau saya harus meminjam uang pada kuman besar nan rakus itu untuk mengganti penghasilan panen yang gagal. (Tomes)

Komentar

Postingan Populer