Lakukan perubahan, jangan tunduk terhadap kenyataan, dan yakin terhadap kebenaran, maka Lanjutkan!!!
"Bagiku sendiri, politik adalah barang barang yang kotor, lumpur lumpur kotor. Tapi suatu saat, jika kita sudah tak dapat menghindar lagi, maka terjunlah." Ujar Seorang Aktivis~
Pasase diatas pernah diucapkan, ketika itu sedang berlangsungnya kontestasi politik dalam kampus. Ketika itu, polemik perebutan kekuasaan dalam miniatur negara selalu diperbincangkan dimana mana. Sebagaiamana ramainya pesta demokrasi pemilu 5 tahunan, pokok bahasannya selalu tertuju pada harapan; agar perubahan dapat diwujudkan. Dalam pasase tersebut, bagiku cukup baik untuk menggambarkan keadaan yang sedang terjadi dalam kampus biru-tempat kita membangun sarang guna merayakan kebebasan berpendapat. Hanya perbedaannya, kala itu seorang mahasiswa memiliki keresahan teramat kuat yang dihadapkan pada banyaknya persoalan, sehingga berkeinginan untuk mewujudkan suatu perubahan. Sedangkan yang berlaku dalam kampus biru, seorang mahasiswa memiliki ambisi yang cukup besar untuk menjadi pemimpin tanpa melakukan apa apa.
Jauh sebelum tiktok merajalela, sebelum lahirnya reformasi. Ketika mahasiswa melihat penguasa sedang gemar menindas rakyat, ketika aturan-aturan disahkan namun sama sekali tidak pro terhadap kaum ploretar, ketika harga-harga melambung tinggi dan rakyat terlampau sulit memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Ketika situasi itu tengah terjadi, saat itu juga mahasiswa mengakumulasikan kekuatan dengan segala bentuk karakteristik pergerakannya, memberikan peringatan kepada penguasa atas perlakuannya yang sewenang yang mempunyao wewenang. Mulai dari membentuk forum diskusi mahasiswa untuk menghidupkan api perlawanan, letupan kesadaran dan tidak terjadinya reterogate heterogen bagi mereka yang lupa akan dirinya yaitu mahasiswa, guna membakar semua niat buruk penguasa yang dinilai berdampak kepada kesejahteraan rakyat indonesia diakhir nanti, melakukan demonstrasi turun kejalan meski segala konsekuensi telah dihadapkan didepan mata. Selama perjuangan itu berlangsung, banyak dari mereka yang telah diculik, hilang kemudian ditemukan tak lagi bernafas. Dan itu semua tidak serta merta membuat perjuangan mahasiswa surut kemudian terhenti. Gelombang massa aksi kian hari kian bertambah, jalanan-jalanan telah disesaki oleh suara-suara perlawanan. Sehingga puncaknya, rezim turun dari kekuasaan dengan mahasiswa dan kaum-kaum proletar lainnya menjadi tokoh utama sebagaimana telah dicatat dalam sejarah bangsa ini. Namun ketika proses perubahan yang akan berujung pada keadilan, kesejahteraan, serta kebebasan berpendapat bagi setiap warga negara, belum bisa terwujud. Sebab dinilai tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Maka dewasa ini seorang mahasiswa harus segera bertindak, mengambil bagian untuk melangkah menuju perubahan yang lebih baik. Tapi sayangnya, jika lembaga perwakilan mahasiswa saja kerjanya cuma bisa tidur nyenyak, forum dan ruang-ruang diskusi mahasiswa terlihat gelap dan suram hingga sulit untuk bergerak, maka saya rasa sejarah kekuatan mahasiswa hanya akan menjadi kenangan belaka yang tersimpan dalam benak.
Masa Bodoh saya katakan sebelum pembaca mengambil suatu konklusif terhadap persoalan yang akan saya angkat kepermukaan, apalagi mereka yang telah menganggap dirinya sebagai mahasiswa hebat yang bangga dengan nilai-nilai perjuangan yang pernah Ia perjuangkan dan merasa itu adalah pencapaian paling tinggi, tentu sedikit alergi tentang persoalan ini. Namun, saya sebagai penulis memiliki harapan yang tulus kepada pembaca, bahwa ada banyak hal yang terjadi disekitar kita tanpa kita ketahui dan harus kita tindak lanjuti.
Saya menulis ini ketika terlalu sedih melihat kehancuran dengan mereka sebagai pelaku yang seharusnya bisa merubah semuanya menjadi lebih baik tetapi melakukan hal yang sebaliknya. Ketika harapan saya terhadap mereka hilang seiring berjalannya waktu yang tak membawa perubahan untuk kehidupan mahasiswa yang tertulis dengan jelas di UUDOK. Sebagaimana tugas dan wewenang pemimpin mahasiswa pada hakikatnya adalah memberikan usul, pendapat, dan saran kepada birokrat kampus yang berkaitan mengenai fungsi pencapaian tujuan pendidikan nasional dan kesejahteraan MAHASISWA kampus biru. Lalu kenyataannya seakan-akan berubah. dengan menganggap bahwa sesuatu yang tidak wajib dalam menyukseskan perlawanan terhadap birokrat kampus yang pada dasarnya itu adalah suatu hal dasar untuk kita semua tahu bahwa hal tersebut adalah sebuah bentuk penghalauan kita terhadap jalan yang memuluskan semua niat beserta tujuan para birokrasi. Pada akhirnya, pemimpin mahasiswa lebih melayani kepentingan dan kesejahteraan birokrat kampus ketimbang kepentingan mahasiswanya sendiri.
Dimasa pandemi seperti ini, ketika semua aktivitas mahasiswa terhenti. Ketika kegiatan belajar mengajar terganggu, kampus biru dengan prioritas mendidik mahasiswanya kearah enterpreneur dan technopreneur menunjukkan perkembangan waktu. Dimana kuliah dapat dilakukan melalui daring, tentu dengan tugas yang kelewat numpuk, belum lagi dimasa panceklik ini biaya pendidikan tidak menjadi pertimbangan kampus untuk memberikan potongan. Padahal pendidikan ilmiah serta pendidikan murah adalah harga paling mahal yang mampu ditawarkan oleh pemimpin dalam miniatur negara kepada mahasiswa. Justru hal ini membuktikan bahwa mereka lebih memilih diam dan megabulkan semua keinginan kampus yang sama sekali tiada berpihaknya terhadap mahasiswa. Sehingga lembaga legislatif serta eksekutif mahasiswa kampus biru tak ubahnya bak seekor burung dalam sangkar. Sebab, mereka enggan merebut hak-hak mahasiswa supaya memperoleh kelayakan untuk menuntut ilmu.
Kendati demikian, dengan menunggu dan menunggu, mahasiswa tetap berharap pada mereka agar bisa berteriak lantang menyuarakan kepentingan serta keresahan mereka. Harapan-harapan yang paling dasar dan paling fundamental menurut saya itulah yang membawa saya kepada sebuah gerakan dengan memikirkan sebuah hak-hak yang seharusnya didapat oleh kita semua kaum intelektual, menurut saya itulah ketika seorang perwakilan dari kawan-kawan mahasiswa lainnya tidak bisa membawa itu semua ke sebuah kebenaran yang nyata.
bergantung pada siapakah yang akan menjadi pemimpin mahasiswa selanjutnya, setelah mendengar informasi bahwa pemilihan raya akan segera diselenggarakan dalam kampus biru. Lalu timbul pertanyaan, sanggupkah penerus selanjutnya untuk membawa kehidupan mahasiswa menuju kesejahteraan kepada kaum intelektualnya? Apakah mungkin sebuah perubahan akan ada dalam kondisi seperti ini? Namun pertanyaan yang ekstrimis ini menyusul, jika seandainya kondisi seperti ini terus berlangsung, apakah seluruh mahasiswa akan menggaungkan kalimat mosi tidak percaya pada BEM dan MPM? Lalu apa yang akan terjadi? Sangatlah bahaya bagi mereka jika seandainya seluruh mahasiswa sudah tak bisa membendung keresahannya dan sadar atas kebobrokan yang sedang terjadi, mahasiswa akan bergerak dan melawan arus deras penindasan dari birokrat kampus dengan mengepalkan tangan kiri.
Maka dari itu hilangkanlah semua egosektoral antar kaum-kaum overgeneralisasi ataupun pertahanan yang lain yang mementingkan kepentingan pribadi ataupun sebagainya, kita fokus kepada sebuah tindakan revolusi yang mengarah kepada kesadaran akam hak-hak yang telah lama sirna dan dirampas oleh birokrasi.
Mulailah Berbenah Dari Dalam Kampus Terlebih Dahulu! (Tomes)
Komentar
Posting Komentar