Iqro bismirobbik'
Dari cerita seribu malam parody festival iblis yang meriah itu, mungkin itu tiada apa-apanya jika dibandingkan dengan sebuah kisah yang akan tertuang pada bait kolom kedua ini, dari sudut pandang orang awam kisah ini mungkin dirasa Hina dan absurd dengan ketidak-jelasannya, Namun! Jangan serius-serius, cukup Jean Paul Satre aja yang serius ngelakoni lakonnya, Jangan terlalu terpaku membacanya, cukup tatap tulisannya dan abaikan notifikasi yang lainnya. Daripada itu, hanya sedikit menyarankan bahwa cerita ini adalah caraku menyogok Tuhan karena aku jarang sekali beribadah sholat 5 waktu, karena pada hakikatnya hamba satu ini yakin bahwa tujuan manusia diciptakan itu Ialah untuk Memanusiakan Manusia.
Delik mata hati seakan tersentuh, kehidupan yang seharusnya menjadi jalan manusia yang lain untuk Iqro’bismirobbik, kini seakan terhalang oleh sebuah hegemoni yang melenceng sukses yang diciptakan untuk para manusia agar terguling dalam jurang kesalahan fitrah manusia, dengan akibatnya kita hanya terlihat seperti roda pedati yang mengikuti detik per detiknya sama, bagaikan bola sodok menggelinding saja kesana-kemari. Namun persoalan lebih daripada itu! Kita ambil konteks para mahasiswa yang katanya manusia analis ilmilah berwawasan kerap juga disebut oleh soe’ adalah kaum Intelegensia nyatanya hari ini sedikit banyak terlalu over dengan mementingkan dirinya sendiri, tanpa Ia pun sadari bahwa dirinya telah dibodohi oleh system yang telah mengikat mereka seperti kerbau, mereka menuhankan pengajar padahal pengajar pun kerapkali salah, jangankan salah, perbedaan pengarang dan penerjemah saja mereka tidak tau. Sederhananya… mahasiswa yang sudah mengambil jurusan komputer, yasudah belajar koding saja, jangan belajar tentang gender dan lain-lainnya.
Mengambil contoh di Negara Finlandia, yang menganggap bahwasannya kampus adalah taman bermain, mereka berhak mempelajari ilmu pengetahuan yang mereka suka, SESUKANYA!!! Padahal dalam buku dari seorang penulisnya yang pernah saya dengar begini “Negara finlandia mencuri falsafah salah satu pahlawan kita yakni Ki Hadjar Dewantara, ing ngarso sun tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” tapi saya memaklumi orang Indonesia tidak mau membaca lebih daripada yang telah ia pilih, mungkin ketika seseorang memilih jurusan ekonomi, mereka hanya akan membaca buku-buku yang berkaitan dengan ekonomi atau novel? Saya tidak heran, karena dahulunya nenek moyang orang Indonesia itu ada yang berasal dari Botsuana, ini sedikit lebih baik daripada nenek moyang kita.
Tapi ketika Negara paling tinggi minat bacanya, Negara paling tinggi tingkat bahagianya, yakni Findlandia memakai falsafah kita, kenapa kita tidak seperti mereka? Sudahlah, semoga kelak kita akan seperti findlandia, tak usah dipikir dan termenung.
Apa salahnya memang jika membaca lebih dari satu buku yang bukan perkuliahan? Jika mereka menyalahkan dan menganggap ini tidak berguna, maka mereka menganggap Findlandia juga salah.
Satu pesan kutititp sebagai kata penutup, kita boleh disalahkan oleh mereka, tapi kita jangan menganggap bahwa kita kalah. Biar waktu yang akan menjawab, dan biar kalimat kun fayakun yang akan membuktikan, karena pada hakikatnya, dengan Iqra’ kita bisa hidup.
Komentar
Posting Komentar